Biografi
Bacharuddin Jusuf Habibe (B.J. Habibie)
Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie (Bapak Teknologi Indonesia) atau yang lebih dikenal sebagai B.J. Habibie, adalah anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Beliau lahir pada tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Masa kecilnya dilalui bersama saudara-saudaranya di Parepare. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie mempunyai kegemaran menunggang kuda dan membaca. Beliau dikenal sangat cerdas ketika masih menduduki sekolah dasar. Namun pada 3 september 1950 ia harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia karena terkena serangan jantung saat ia sedang shalat Isya. Tak lama kemudian ibunya menjual rumah dan kendaraan lalu pindah ke Bandung bersama dengan Habibie.
Habibie pernah menuntut ilmu di Gouvernments
Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama
dalam pelajaran-pelajaran eksakta sehingga menjadi sosok favorit di
sekolahnya.Pada tahun 1954 Ia belajar teknik mesin di Institut Teknologi
Bandung. Dan pada1955-1965 ia mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di RWTH Aachen, Jerman Barat, di studi
teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang karena mengingat
pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan penerbangan bagi
Indonesia. Musim liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang harus
diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur,
semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda dengan teman-temannya yang
lain, mereka lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas untuk bekerja,
mencari pengalaman dan uang tanpa mengikuti ujian. Berkat usaha kerasnya pada
1960 ia mendapat gelarDiplom Ingenieur, dari Technische Hochschule,
Jerman dengan predikat Cum Laude(Sempurna) dengan nilai rata-rata
9,5. dan gelar Doktor Ingenieur pada 1965 dengan predikatSumma
Cum Laude (Sangat sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische
Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, Ia sudah
mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus,
Ia bekerja di Messerschmitt-Bolkow-Blohm atau MBB Hamburg
(1965-1969) sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur
Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada
industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas
kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President
sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast
Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi
satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan
pesawat terbang Jerman ini. Karir Habibie sudah sangat cemerlang bahkan Ia
menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan
dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa
rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti Habibie
Factor, Habibie Theorem dan Habibie Method.
Pada
awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan
konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique)
pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Titik rawan
kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang
atau antara sayap dan dudukan mesin. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal
dari keretakan (krack).Titik rambat,
yang kadang mulai dari ukuran 0,005 mm itu terus
merambat. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula
mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller
ke jet. Potensi fatique makin besar. Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana
rambatan titik krack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada
hitungan atom-atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie(Habibie Theorem ) ini lantas dinamakan krack progression. Dari sinilah Habibie
mendapat julukan sebagai Mr. krack.
Sebelum
titik krack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan
muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF).
Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan
teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat
terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik
krack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih
campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja
dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia
penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.Faktor Habibie bisa meringankan operating empty
weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari
bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie
menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Dengan begitu, secara
umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga
secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas
permintaan Presiden Soeharto. Ia pun diangkat menjadi penasihat pemerintah
(langsung dibawah Presiden) di bidang Teknologi Pesawat Terbang dan Teknologi
Tinggi hingga tahun 1978. Kemudian ia diangkat menjadi Menteri
Negara Riset dan Teknologi (Menristek) dari 29 Maret 1978
hingga 16 Maret 1998, sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga
diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya. Ia
juga diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), pada masa jabatannya sebagai menteri. Pada tahun 1989,
Suharto memberikan kekuasan lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan
Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL,
dan PT IPTN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar